Rabu, 22 April 2009

SERANGAN AL-GHOZALI TERHADAP PARA FILOSOF

SERANGAN AL-GHOZALI TERHADAP PARA FILOSOF

A. MUKADDIMAH
Kecurigaan dan serangan dari sebagian ulama terhadap filsafat dan filosof muslim sudah ada sejak awal , yaitu sejak adanya kontak ilmuwan muslim dengan ilmu ilmu dan filsafat Yunani. Serangan terhadap filsafat itu, puncaknya adalah serangan dari Al-Ghozali, seorang ulama besar dan sangat berpengaruh di dunia islam . Al-Gozali melontarkan sanggahan luar biasa keras terhadap pemikiran para filosof yaitu selain Aristoteles dan Plato juga Al-Farabi dan Ibnu Sina. Dua filosof yang disebutkan terakhir ini adalah seorang filosof muslim yang menurut al-Ghazali harus bertanggung jawab atas kekacauan filsafat di dunia islam , karena menerima dan menyebarluaskan pemikiran filosof Yunani yaitu Sokrates, Aristoteles dan Plato ke dunia Islam. Kritik pedas tersebut dituangkan dalam bukunya “ Tahafut al-Falasifat (Kerancuan Pemikiran Para Filosof)

B. RIWAYAT HIDUP
1. Al-Ghazali (450-505 H / 1058-1111 M)
Nama lengkapnya Abu Hamid Al Ghozali, ia lahir di desa Gazaleh dekat kota Thus pada tahun 450 H / 1058 M. Ia belajar di Tus, Jurjan dan Nisyapur. Di Nisyapur inilah ketika berusia 20 – 28 tahun ia belajar kepada al-Juwaini (imam al-Haramain). Selanjutnya ia berdomisili di Mu`askar (komplek tentara) selam 5 tahun kemudia di Bagdad selama 5 tahun. Ketika di Bagdad inilah ia menjadi seorang pemimpin dan Guru besar Madrasah Nizamiyah Bagdad. Di Bagdad pula ia berupaya dengan keras mempelajari ilmu filsafat dan menunjukkan pemahamannya tentang filsafat dengan menulis buku ” al-Maqasid al-Faasifah ” (tentang pemahaman pemahaman para filosof , menurut al-Ghazali), kemudian ia juga menunjukkan kemampuannya mengkritik argumen argumen para filosof dengan menulis buku ” Tahafut al-Falasifah ” (ketidakkonsistenan para filosof ) dalam rangka memberikan kesan tentang kelemahan atau kekacauan pemikiran pemikiran para filosof muslim seperti al-Kindi, al-Farabi dan Ibnu Sina. Al-Ghazali pernah mengalami sakit yang parah sampai 6 bulan, ia tidak memiliki nafsu makan dan tidak bisa bicara. Ia sakit karena ada konflik batin yang sama kuat dorongannya antara tetap di Bagdad (memimpin dan mengajar di Madrasah Nizamiyah Bagdad) dan keluar dari Bagdad (untuk menjalani hidup tasawuf) . Setelah sembuh dari sakit ia memilih hidup bertasawuf selama 10 tahun di Damaskus, Yerusalem, Mekah, Madinah dan kemudian kembali ke tanah kelahirannya di Tus. Selanjutnya ia mengajar di Nisyapur selama 2 tahun dan akhirnya kembali lagi ke Tus untuk mendirikan ” Khankah ” (pusat latihan) bagi para calon sufi. Tidak lama kemudia ia wafat dalam usia 55 tahun di Tus.Beliau adalah seorang Faqih, Mutakkallim dan Sufi , ia pandai bicara dan amat produktif dalam mengarang buku. Karya tulisnya sebanyak 228 buku/risalah. Karyanya yang paling populer di kalangan dunia islam adalah ” Ihya ulumuddin ” (menghidupkan ilmu ilmu agama) .

2. Al-Farabi ( 259-339 H / 872-950M)
Nama lengkapnya Abu Nashr Muhammad ibnu Muhammad ibnu Uzlag ibnu Turkhan al-Farabi, hidup dari tahun 259 339 H/872 – 950 M. Ia adalah tokoh muslim terkemuka dalam bidang filsafat, ia orang Turki (ayah dan ibunya orang turki), tetapi ada juga yang mengatakan bahwa ayahnya adalah seorang jendral keturunan Persia. Al-Farabi lahir di Desa Wasij dekat Kota Farab (sebelah selatan Samarkand ). Ketika masa mudanya ia pindak ke Bagdad bersama ayahnya. Kemudian Ia pernah bekerja sebagai hakim pada usia 40 tahun. Ketika di Bagdad ia juga ahli di bidang Filsafat, ia banyak berdiskusi dengan para ahli berbagai bidang ilmu dan menetap di Bagdad selama 20 tahun. Dalam masa tersebut ia menyempatkan diri pergi ke Harran yang saat itu dikenal sebagai salah satu pusat studi ilmu dan filsafat, kemudia kembali lagi ke Bagdad. Ia meninggalkan bagdad pada tahun 329 H/940 M setelah khalifah Muttaqi diserang dan dibunuh oleh jendral Tuzun dari Dailami. Selanjutnya ia bermukim sebentar di Damaskus dan Mesir , kemudia akhirnya ke Aleppo (Syiria). Di kota terakhir inilah ia menghabiskan waktunya untuk mendalami berbagai ilmu dan menjadi bintang terkemuka yang menghiasi istana Amir Saif al-Daulah. Al-Farabi hidup sangat sederhana walaupun Amir saif berbaik hati dan mau menjamin biaya hidupnya berapapun yang dibutuhkannya. Ia merasa cukup dan mengambil sedikit saja uang yang diberikan Amir untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, karena ia sedang menjalani hidup Zuhud


3. Ibnu Sina (370-428 H / 980 – 1036 M)
Nama lengkapnya Abu Ali al-Husayn Ibnu Abdillah Ibnu Sina, lahir pada tahun 980 M di desa Afsyanah dekat kota Bukhara Uzbekistan, ibunya bernama Astarah berasal dari Afganistan sedangkan ayahnya Abdullah keturunan Turki , ia berada di Afsyanah sampai umur 5 tahun. Kemudia ia pindah ke Bukhara, Ketika umur 10 tahun ia sudah hafal al-Quran, umur 17 tahun sudah menguasai berbagai ilmu ilmu termasuk ilmu filsafat. Ia belajar ilmu kedokteran selama satu tahun dan pada usia 17 tahun sudah menjadi dokter istana, ia dapat menyembuhkan Nuh bin Mansur seorang sultan Bukhara dari Samaniah. Setelah itu ia leluasa memasuki perpustakaan istana di Bukhara dan membaca semua buku buku yang ada pada saat itu, sejak itu ia mulai banyak mengarang buku, ia berada di Bukhara sampai umur 21 tahun. Kemudia Ibnu Sina pindah ke Kurkang sampai umur 32 tahun, ke Jurjan sampai umur 35 tahun dan ke Hamadan sampai usia 44 tahun, di sini ia menjadi wajir (mentri ) selama 9 tahun. Kemudia ia pindah ke Isfahan menjadi penasehat politik selama 14 tahun, karena dikenal kematangannya dalam berbagai ilmu pengetahuan dan filsafat serta atas kepemimpinannya dalam bidang politik maka ia mendapat gelar al-Syaikh al-Rais. Pada Usia 58 tahun ia pindah ke Hamadhan dalam keadaan sakit dan wafat pada tahun 1036 M di Hamadhan dalam usia 58 taun. Ibnu Sina tergolong sangat produktif dalam mengarang buku walaupun ia sangat sibuk dengan pekerjaanya sebagai dokter, pengajar, penasehat politik dan wajir, jumlah karya tulisnya sekitar 276 buah dalam bentuk buku atau risalah, dan dalam bentuk karya ilmiah dan syair. Karyanya yang dianggap penting oleh para ahli adalah Kitab ”al-Shifa ” ( 18 jilid, merupakan ensiklopedi besar tentang fisika, metafisika, matematika dan logika, ditulis ketika di Hamadan) , kitab ” al-Najah ” (ringkasan dari kitab al-Syifa, tetapi yang bahas di dalamnya hanya logika, fisika dan metafisika) , Kitab ” al-Qanun fi al-Thib ” ( ensiklopedi tentang kedokteran dan menjadi pegangan wajib di universitas universitas Eropa sampai abad 17), dan kitab ”al-Isyarat wa al-Tanbihat ” ( 3 jilid tentang logika, fisika dan metafisika. Karya tulis terakhir dari Ibnu Sina ).


C. PENGELOMPOKAN PARA FILOSOF
Dalam buku Munqiz min al-Dhalal, Al-Ghazali mengelompokan filosof menjadi tiga golongan, yaitu

1. Filosof Materialis (Dahriyyun) yaitu para filosof yang menyangkal adanya Tuhan dan kosmos itu ada dengan sendirinya

2. Filosof Naturalis ( Thabi`iyyun) yaitu para filosof yang mengakui adanya Maha Pencipta setelah mengadakan berbagai penelitian tentang alam yang banyak menyaksikan keajaiban keajaibannya sehingga memaksa mereka untuk mengakui adnya Maha Pencipta. Namun mereka tetap menyangkal dan mengingkari Allah , RasulNya dan hari kebangkitan. Mereka juga tidak mengenal pahala dan dosa sebab mereka hanya memuaskan nafsu seperti hewan.

3. Filosof Ketuhanan (Ilahiyyun) yaitu Filosof Yunani seperti Sokrates, Aristoteles dan Plato. Aristoteles telah menyanggah filosof sebelumnya (materialis dan naturalis), namun ia sendiri ia tidak bisa membebaskan diri dari sisa sisa kekafiran dan keheterodoksian. Mereka adalah orang yang kafir dan begitu juga Al-Farabi dan Ibnu Sina yang menyebarluaskan filosof Yunani ke dunia islam.

Menurut al-Ghazali, Filsafat Aristoteles yang disebarluaskan al-Farabi dan Ibnu Sina terbagi menjadi tiga kelompok
a. Filsafatnya yang tidak perlu disangkal (dapat diterima)
b. Filsafatnya yang harus dipandang bid`ah (heterodoksi)
c. Filsafatnya yang harus dipandang kafir

Ilmu Filsafat menurut al-Ghazali terbagi menjadi enam bidang yaitu ilmu matematika, logika, fisika, politik, etika dan metafisika (ketuhanan). Selain bidang ilmu ketuhanan, ilmu ilmu tersebut dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syariat Islam walaupun yang terkandung di dalam ilmu ilmu tersebut terdapat negatifnya.

Dalam bidang ketuhanan sperti yang terdapat di dalam kitab ”Tahafut al-Falasifat ” , al-Ghazali berpendapat bahwa pemikiran para filosof harus dipandang sebagai bid`ah dan kafir. Kesalahan para filosof tersebut dalam bidang ketuhanan terdapat dua puluh masalah. Tiga dari dua puluh masalah tersebut, menurut al-Ghazali membuat filosof menjadi kafir, yaitu
a. Alam dan semua substansi qodim
b. Allah tidak mengetahui yang juziyyah (perincian) yang terjadi di alam
c. Pembangkitan jasmani tidak ada


D. TANGGAPAN AL-GHOZALI TERHADAP TIGA PEMIKIRAN FILOSOF

Menurut al-Ghazali kepercayaan dalam tiga masalah tersebut bertentangan dengan kepercayaan umat islam dan dipandang mendustakan rasul rasul Allah. Padahal tidak ada golongan islam manapun yang berpendapat seperti ini. Selanjutnya al-Ghazali menjelaskan sebagai berikut :

1. Masalah Paham Qadim-nya Alam
Pada umunya para filosof muslim berpendapat bahwa alam ini qadim, artinya wujudnya alam bersamaan dengan wujudnya Allah karena dipandang dari segi dzat (taqaddum dzati) dan tidak dari segi zaman (taqoddum zamani). Seperti keterdahuluan sebab akibat dari cahaya matahari. Menurut al-Ghazali, para filsafat muslim mengemukakan alasan sebagai berikut :

a. Mustahil timbulnya yang baru dari yang qadim
Jika diandaikan Allah yang qadim sudah ada sedangkan alam belum ada, Karena merupakan kemungkinan semata dan setelah itu alam diadakannya, maka apa alasan bahwa alam diadakan sekarang, tidak sebelumnya. Jika dikatakan sebelumnya Allah tidak berkehendak (iradat) dan baru kemudian berkendak, Mengapa terjadi kehendak . Apakah kehendak itu datang dari dzatnya atau dari luar dzatnya? Keduanya adalah mustahil karena Allah tidak mengalami perubahan.

Argumentasi filosof muslim di atas , Menurut al-Ghazali tidak ada halangan apapun bagi Allah menciptakan alam sejak zaman azali dengan iradahNya yang qadim pada waktu diadakannya. Sementara itu ketiadaan wujud alam sebelumnya karena memang belum dikendakiNya. Menurut al-Ghazali iradah adalah suatu sifat bagi Allah yang berfungsi membedakan (memilih) sesuatu dari lainnya yang sama. Jika para filosof muslim menganggap sifat tersebut tidak dapat disebut sebagai iradah, dapat diberi nama lain yang penting arti sama. Jika Allah menetapkan ciptaanNya dalam satu waktu dan tidak dalam waktu yang lain tidaklah mustahil terciptanya yang baru dari dzat yang qadim.

b. Keter-dahulu-an wujud Allah
Keterdahuluan wujud Allah dari alam hanya dari segi esensi (taqaddum dzati) sedangkan dari zaman (taqaddum zamani) antara keduanya adalah sama, seperti keterdahuluan bilangan satu dari dari dua. Jika demikian keadaan antara Allah dan alam seharusnya sama-sama qadim.Dan tidak mungkin salah satunya qadim sedangkan yang lannya baru. pada waktu itu alam harus belum ada, Karena ketiadaan melalui wujud.

Al-Ghazali menjawab, wujud Allah itu lebih dahulu dari alam dan zaman. Pertama kali ada Allah, kemudian ada alam karena diciptakan Allah. Jadi dalam keadaan pertama kita bayangkan adanya Allah saja dan dalam keadaan yang kedua kita bayangkan ada dua esensi, yaitu Allah dan alam dan tidak perlu kita membayangkan adanya esensi yang ke tiga yaitu zaman.

c. Alam sebelum wujudnya merupakan sesuatu yang mungkin
Kemungkinan ini tidak ada awalnya dengan arti selalu abadi. Al-Ghazali menjawab, alam ini senantiasa mungkin terjadi dan setiap saat dapat digambarkan terjadinya. Pertentangan antara al-Ghazali dengan filosof muslim tentang qadimnya alam hanya pertentangan penafsiran. Filosof muslim berpendapat bahwa Qadim itu mengandung arti tidak berawal dan tidak ada pada masa lampau oleh karena itu bisa membawa pengertian alam ini tidak diciptakan. Sedangkan menurut al-Ghazali yang qadim hanya Allah . sedangkan selain Allah adalah hadits (baharu)

2. Tuhan Tidak Mengetahui Yang Juz`iyyat (parsial)
Para filosof muslim,menurut al-Ghazali berpendapat bahwa Allah hanya mengetahui dzatNya dan tidak mengetahui yang lainnya (juziyya). Ibnu Sina mengatakan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu dengan ilmunya yang kully. Alasannya para filosof muslim, Allah tidak mengetahui yang juz`iyyah, bahwa di alam ini selalu terjadi perubahan perubahan. Jika Allah mengetahui rincian perubahan akan membawa perubahan kepada dzatnya. Ini mustahil terjadi pada Allah.


Al-Ghazali menjawab, pendapat para filosof merupakan kesalahan fatal. Menurut al-Ghazali pengetahuan Allah tidak membawa perubahan pada ilmu. Jika ilmu berubah tidak membawa perubahan pada dzat. Demikian pula ilmu Allah, ia mengetahui segala sesuatu dengan ilmuNya yang satu (Esa) sejak azali dan tidak berubah meskipun alam yang diketahuinya itu mengalami perubahan . untuk memperkuat argumennya al-Ghazali mengemukakan ayat al-Qur`an diantaranya

[QS. Yunus/10:61] ”..... Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biar pun sebesar zarah (atom) di bumi atau pun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lohmahfuz) ”

[QS.al-Hujurat/49.16] ” ......... padahal Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."

Perbedaan pendapat antara al-Ghazali dan para filosof muslim tentang pengetahuan Allah ini wajar terjadi karena beda dalam objek ilmu. Menurut para filosof muslim berbedanya objek ilmu membawa perubahan pada ilmu dan dzat. Sementara menurut al-Ghazali berbedanya objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu dan dzat. Perbedaan prinsip demikian meneyebabkan perbedaan kesimpulan, Al-Ghazali berusaha menarik masalah pada tataran konkrit sedangkan para filosof muslim menarik masalah pada tataran abstrak.

3. Kebangkitan Jasmani di Akhirat
Menurut para filosof muslim yang akan dibangkitkan di akhirat nanti adalah rohani, sedangkan jasmani akan hancur. Jadi yang akan merasakan kebahagiaan atau keedihan adalah rohani saja. Kendatipun ada gambaran dari agama berupa materi di akherat seperti surga dan neraka. Semua itu pada dasarnya simbol- simbol untuk memudahkan pemahaman orang awam.
Al-Ghazali pada dasarnya tidak menolak adanya bermacam macam, kelezatan di akhirat yang lebih tinggi dari pada kelezatan di dunia yang bersifat empiris /indrawi. Juga ia tidak menolak ke-kekalan roh setelah terpisah dari jasad. Semua itu dapat diketahui berdasarkan otoritas dari jasad, akan tetapi ia membantah bahwa hanya akal saja dapat memberikan pengetahuan final dalam masalah metafisika (sam`iyyat)
Menur al-Ghazali, kekalnya jiwa setelah mati tidak bertentangan dengan ajaran islam. Hadits hadits menyebutkan bahwa roh roh manusia merasakan adanya kebaikan atau siksa kubur dan lainnya. Semua ini sebagai indikasi adanya kekekalan jiwa. Sementara itu, kebangkitan jasmani secara eksplisit telah ditegaskan syara` (agama) dengan arti jiwa dikembalikan pada tubuh. Baik tubuh semula maupun tubuh yang lain atau tubuh yang baru dijadikan. Tubuh manusia dapat berganti bentuk seperti dari kecil mejadi besar, dari kurus menjadi gemuk dan sebaliknya. Ada suatu tubuh berbentuk jasmani yang dapat merasakan kepedihan dan kebahagiaan. Allah Maha Kuasa menciptakan segala sesuatu, dengan Maha KuasaNya ia tidak merasa sulit menjadikan manusia dari setitik sperma menjadi aneka macam organ tubuh seperti tulang, daging, kulit, urat saraf, otot dan sebagainya. Bagi Allah jauh lebih mudah mengembalikan rohani pada tubuh jasmani di akhirat dari pada penciptaan pertama kali.

Pertentangan antara al-Ghazali dengan para filosof muslim hanya perbedaan interpretasi tentang dasar dasar ajaran islam yakni bentuk kebangkitan di akhirat bukan pertentangan dasar dasar islam itu sendiri yakni kebangkitan di akhirat


E. KESIMPULAN

Sangat wajar jika ada pertentangan dan kesalahpahaman antara Filosof Muslim dengan al-Ghazali dalam masalah qadimnya alam, Tuhan tidak mengetahui juziyyah dan kebangkitan jasmani di akhirat. Hal ini terjadi karena Al-Gazali, al-Farabi dan Ibnu Sina tidak satu masa , mereka tidak bertemu tatap muka sehingga muncul pemahaman yang berbeda. Bisa jadi apa yang dimaksudkan oleh salah satu dari mereka dipahami dengan penafsiran yang berbeda. Sayang mereka tidak satu generasi. Mungkin jika mereka bisa berkumpul dan saling bertukar pikiran mungkin hasilnya akan berbeda.

Tidak ada komentar: