Rabu, 22 April 2009

Nasikh dan Mansukh

NASIKH DAN MANSUKH
Oleh : Shofiulloh

Mukaddimah
Seandainya (Al-Quran ini) datangnya bukan dari Allah, niscaya mereka akan menemukan di dalam (kandungan)-nya ikhtilaf (kontradiksi) yang banyak (QS an-Nisa / 4:82).
Ayat Al-Quran tersebut di atas merupakan prinsip yang di yakini kebenarannya oleh setiap Muslim. Namun demikian, para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana menghadapi ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukkan adanya gejala kontradiksi. Dari sinilah kemudian timbul pembahasan tentang nasikh dan mansukh. Di dalam Al-Quran, kata naskh dalam berbagai bentuknya, ditemukan sebanyak empat kali, yaitu dalam QS. Al-Baqarah/2:106, QS. Al-`Araf/7:154, QS. Al-Hajj / 22:52, dan QS. Al-Jatsiah / 45:29.
Masalah nâsikh dan mansûkh dan korelasinya dengan Al-Qur’an merupakan hal yang masih hangat untuk dibicarakan. Pendapat seputar konsep ini dalam figh, ushul-fiqh , dan ulumul qur`an masih dilingkupi oleh perdebatan. Karena, sepanjang zaman, masalah naskh ini benar-benar telah menyita perhatian para pemikir Islam.
Di antara kajian Islam tentang hukum ( fiqh ,ushul-fiqh ) yang sampai sekarang masih kontroversial adalah persoalan nasakh, terutama jika dihubungkan dengan kemungkinan adanya nâsîkh-mansûkh sesama (internal) ayat-ayat Al-Qur’an. Bahkan, dengan nada yang cukup provokatif ada yang menyatakan bahwa ide naskh adalah ‘‘min akbar al-kawârits al-fikriyyah’’ (‘salah satu malapetaka pemikiran terbesar’) yang menjadikan ulama salaf tergelincir dan tertipu. Akhirnya mereka membolehkannya, bahkan mereka sampai mengatakan bahwa itu merupakan ijma‘. Bahkan, mereka menolak imam al-Syafi‘i, yang menyatakan bahwa Sunnah tidak me-naskh Al-Qur’an, berdasarkan klaim mereka bahwa kedua-duanya (Al-Qur’an dan Sunnah) adalah wahyu.
Secara umum, para ulama telah berijma‘ bahwa naskh itu ‘boleh’ secara akal, dan ‘terjadi’ secara pendengaran (jâ’iz ‘aqlan wa wâqi‘ sam‘an). Dan hanya Abu Muslim al-Ashfahânî saja yang menyatakan ‘boleh’, tetapi ia ( naskh) bukan menjadi satu realita (tidak terjadi). Sehingga menjadi menarik untuk ditelusuri karena masalah naskh ini sangat erat kaitannya dengan istinbâth al-ahkâm (menyimpulkan satu hukum). Dengan demikian harus benar diketahui dan dibahas secara serius.

A. Pengertian Nasikh dan Mansukh
Kata naasikh berasal dari kata naskh yang secara etimologi mengandung beberapa arti , yaitu menghapus dan menghilangkan ( al-izaalat) , mengganti dan menukar ( at-tabdiil), memalingkan (at-tahwiil) , dan menukilkan dan memindahkan (an-naql). Jadi naasikh adalah sesuatu yang menghapus, mengganti dan membatalkan atau yang tidak memberlakukan . adapun mansuukh adalah sesuatu yang dihapus , diganti dan dibatalkan atau yang tidak diberlakukan.[1].
Sedangkan secara terminologi arti nasikh dan mansukh adalah membatalkan pelaksanaan hukum syara dengan dalil yang datang kemudian, yang menunjukkan penghapusannya secara jelas atau implisit (dhimni). Baik penghapusan itu secara keseluruhan atau sebagian, menurut kepentingan yang ada. Atau melahirkan dalil yang datang kemudian yang secara implisit menghapus pelaksanaan dalil yang lebih dulu [2]. Pengertian naskh secara terminlogi digolongkan ke dalam dua golongan yaitu :
1. Menurut ulama Mutakadimin (abad ke 1 hingga abad ke 3 H) arti nasikh dan mansukh dari segi terminologi mencakup :
a. pembatalan hukum yang ditetapkan kemudian
b. pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian
c. penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang belum jelas(samar), dan penetapan syarat terhadap hukum yang terdahulu yang belum bersyarat.[3]
Di samping itu ada pula yang berpendapat bahwa istilah tersebut berarti pembatalan ketetapan hukum yang ditetapkan pada suatu kondisi tertentu oleh ketetapan lain yang berbeda akibat munculnya kondisi lain. Misalnya, perintah agar kaum muslimin pada periode Mekkah bersabar karena kondisi mereka lemah telah di naskh oleh adanya perintah berperang pada periode Madinah karena kondisi mereka sudah kuat. Bahkan ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa sebelum Islam termasuk dalam pengertian naskh.[4]
2. Menurut ulama Muta`akhirin ( setelah abad 3 H) mempersempit pengertian yang luas itu. Menurut mereka, naskh adalah ketentuan hukum yang datang kemudian untuk membatalkan masa berlakunya hukum terdahulu. Artinya , ketetapan hukum yang terdahulu tidak berlaku lagi dengan adanya ketetapan hukum yang baru.[5]


B. Macam-macam Naskh
1. Al-Qur`an dengan al-Qur`an
Bagian ini disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya naskh . misalnya ayat tentang idah empat bulan sepuluh hari. Allah SWT berfirman
Artinya : ” Dan orang –orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan istri ,hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya , (yaitu ) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri) , maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma`ruf terhadap diri mereka . Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS.al-Baqarah/2: 240)
Artinya : ” Orang orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa idahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat ”. (QS.al-Baqarah/2:234).

Ada yang berpendapat bahwa ayat pertama muhkam, sebab ia berkaitan dengan pemberian wasiat bagi istri jika istri itu tidak keluar dari rumah suami dan tidak kawin lagi. Sedangkan ayat ke dua berkenaan dengan masalah idah. Dengan demikian maka tidak ada pertentangan antara kedua ayat itu. [6]



2. Al-Qur`an dengan Sunnah
Naskh ini ada dua macam yaitu:
a. Naskh al-Qur`an denga Hadits Ahad
Jumhur ulama berpendapat bahwa al-qur`an tidak boleh dinaskh oleh hadits adad , karena al-qur`an adalah mutawatir dan menunjukan yakin , sedangkan hadits ahad dzanni , bersifat dugaan , disamping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang ma`lum (jelas diketahui) dengan yang madznun (diduga)
b. Naskh al-Qur`an dengan Hadits Mutawatir
Naskh demikian dibolehkan oleh Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing masing keduanya adalah wahyu dan naskh itu sendiri merupakan salah satu penjelasan. [7] Allah berfirman
Artinya : “ Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS. An-Najm/53: 3-4)

Artinya : “ Keterangan –keterangan (mu`jizat) dan kitab kitab. Dan kami turunkan kepadamu al-Qur`an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan (QS.an-Nahl/16:44)

3. Sunnah dengan al-Qur`an
Naskh ini dibolehkan oleh jumhur ulama . [8] Misalnya masalah menghadap ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dengan sunnah dan di dalam al-qur`an tidak terdapat dalil yang menunjukkannya. Ketetapan itu dinaskh oleh al-qur`an dengan firmannya :
Artinya : “ Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai . Palingkanlah mukamu kea rah masjidil haram . Dan di mana saja kamu berada , palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang orang (yahudi dan nasrani) yang diberi al-Kitab (taurat dan injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke masjidil haram itu adalah benar dari tuhannya dan Allah sekali kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan (QS. Al-Baqarah/2: 144)

4. Sunnah dengan Sunnah
Naskh dalam kategori ini terdapat empat bentuk
a. Sunnah mutawatir dengan sunnah mutawatir
b. Sunnah ahad denga sunnah ahad
c. Sunnah ahad dengan mutawatir
d. Sunnah mutawatir dengan sunnah ahad
Bentuk a,b dan c diperbolehkan sedangkan bentuk d terjadi silang pendapat seperti halnya naskh al-qur`an dengan hadits ahad , yang tidak diperbolehkan oleh jumhur ulama .

C. Bentuk - bentuk naskh
Naskh dalam al-Qur`an dibagi ke dalam 4 jenis: [9]
1. Naskh sarih, yaitu ayat ayat yang secara tegas menghapuskan hukum yang terdapat dalam ayat terdahulu. Misalnya QS.al-Anfal :65-66, ayat tentang perang yang mengharuskan perbandingan antara muslim dan kafir adalah 1: 10 di-naskh dengan ayat yang mengharuskan hanya 1: 2 dalam masalah yang sama
Artinya : ” Hai Nabi, kabarkanlah semangat para mu`min itu untuk berperang , jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang(yang sabar) di antaramu, mereka dapat mengalahkan seribu dari pada orang orang kafir, disebabkan orang orang kafir itu kaum yang tidak mengerti (65). Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika ada di antaramu seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan izin Allah . Dan Allah beserta orang orang yang sabar ”. (QS.al-Anfal /8:65-66).

2. Naskh dimni , yaitu bila ada ketentuan hukum ayat yang terdahulu tidak bisa dikompromikan dengan ketentuan hukum ayat yang datang kemudian dan ia menasakh ayat yang terdahulu . Misalnya, ayat tentang kewajiban wasiat kepada ahli waris yang dianggap mansukh oleh ayat waris.

3. Naskh Kulli , yaitu menasakh hukum ynag datang sebelumnya secara keseluruhan . Misalnya ketentuan hukum Idah satu tahun bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya yang di-naskh dengan idah 4 bulan 10 hari
Artinya : ” Orang orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa idahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat ”. (QS.al-Baqarah/2:234).

4. Naskh Juz`i yaitu menaskh hukum yang mencakup seluruh individu dengan hukum yang mencakup sebagian individu , atau menasakh hukum yang bersifat mutlak dengan hukum yang bersifat mubayyad (terbatas) . Misalnya
Artinya : ” Dan orang orang menuduh wanita wanita yang baik baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi , maka deralah mereka (orang yang menuduh itu) delapan puluh kali dera. Dan janaganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama lamanya. Dan mereka itulah orang orang fasiq (4). Kecuali orang –orang yang bertaubat sesudah itu , dan memperbaiki (dirinya) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang orang yang menuduh istrinya(berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi saksi selain diri mereka sendiri , maka persaksian orang itu adalah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya dia adalah termasuk orang orang yang benar”. (QS. An-Nur /24: 4-6)

QS. An-Nur /24: 4 di atas menyatakan bahwa orang yang menuduh seorang wanita berzina tanpa menghadirkan 4 orang saksi hukumnya didera 80 kali. Ayat 4 dari surat an-Nur di atas di-naskh oleh ayat 6 ayat yang menjelaskan bahwa jika menuduh itu suminya sendiri, maka hukumnya tidak didera tetapi dilakukan saling sumpah antara keduanya



Naskh al-Qur`an dari segi tilawah dan hukumnya terbagi menjadi 3 macam :
1. Naskh Tilawah dan Hukum
Naskh terhadap tilawah dan hukum: Misalnya apa yang diriwayatkan oleh Muslim dan yang lainnya dari Aisyah, ia berkata :
كَانَ فِيْمَا اُنْزِلَ عَشَرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُوْمَاتٍ يُحَرِمْنَ فَنُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُوْمَاتٍ فُتُوُفِيَّ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :[وَهُنَّ مِمَّا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ]
” Di antara yang diturunkan kepada beliau adalah ’sepuluh susuan (hisapan) yang maklum itu menyebabkan mukhrim’, kemudian (ketentuan ) ini dinaskh oleh Lima susuan yang maklum’, maka ketika Rasulullah wafat ’lima susuan’ ini termasuk ayat al-qur`an yang dibaca (matlu).”
Kata kata Aisyah ” lima susuan ini termasuk ayat al-qur`an yang dibaca ”, pada lahirnya menun jukkan bahwa tilawahnya masih tetap. Tetapi tidak demikian halnya, karena tidak terdapat dalam mushaf usmani. Kesimpulan demikian dijawab, bahwa yang dimaksud dengan perkataan Aisyah tersebut ialah ketika belian menjelang wafat. . [10]

2. Naskh Hukum dan Tilawahnya Tetap
Naskh hukum dan tilawahnya tetap, misalnya naskh hokum ayat idah selama satu tahun, sedang tilawahnya tetap. Jenis kedua inilah pada hakikatnya sangat sedikit sekali, meskipun banyak yang menghitung banyak ayat berkenaan dengan ini. Para muhaqqiqîn, seperti al-Qâdhî Abu Bakar ibn al-‘Arabî telah menjelaskan hal ini dan beliau merupakan orang yang membahas secara tuntas. Untuk jenis yang kedua ini, beliau banyak menyebutkan sebanyak 20 ayat yang mansûkhah (dihapus) hukumnya tanpa bacaannya. Namun demikian, beliau banyak menggunakan kata-kata qîla (dikatakan), yang mengindikasikan riwayat yang lemah. . [11]

3. Naskh Tilawah dan Hukumnya Tetap
Untuk naskh macam ini contohnya ayat rajam

اَلشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ اِذَا زَنَيَا فَرْجُمُوْهُمَا اَلْبَتَّةَ بَكَالَا مِنَ اللَّهِ . وَاللَّهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Artinya: “ Orang tua laki laki dan perempuan apabila keduanya berzina , maka rajamlah keduanya itu dengan pasti sebagai siksaan dari Allah . Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana “.

D. Pendapat ulama tentang naskh dalam al-qur`an
Pembahasan tentang nasikh dan mansukh yang muncul dalam kajian ilmu tafsir merupakan masalah yang mengundang perdebatan di kalangan para ulama. Kontroversi yang timbul bertolak dari bagaimana memahami dan menghadapi ayat ayat al-qur`an yang pada lahirnya kelihatan saling berlawanan. Segolongan ulama berpendapat bahwa ada ayat ayat yang bertentangan dan tidak bisa dikompromikan, dan dengan demikian ada naskh dalam al-Qur`an. Sebaliknya, segolongan ulama lainnya berpendapat bahwa ayat ayat yang dikatakan tampak bertentangan bisa dikomoromikan dan dengan demikian tidak ada naskh dalam al-qur`an.[12]

1. Ulama yang mengakui Nasikh dan mansukh
Jumhur (mayoritas) ulama mengakui adanya nasikh dan mansukh , antara lain
a. Imam Syafi`i
Imam Syafi`i mengakui adanya naskh dalam al-Qur`an berdasarkan Firman Allah :
Artinya : ” Ayat mana saja yang kami nasakh-kan , atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya , kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha kuasa atas segala sesuatu ?” (QS.al-Baqarah/2: 106)
Artinya : ” Dan apabila Kami letakkan suatu ayat ditempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata ” Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada ada saja .”Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.”(QS.an-Nahl/16: 101)[13]
Berkaitan denga kandungan surat al-Baqarah ayat 106 tersebut, para mufassir (ahli tafsir) memberi komentar.

b. Ibnu Kasir
Ibnu Kasir dalam kitab tafsirnya menyatakan : ” sesungguhnya rasio tidak ada alasan yang menunjukkan tidak adanya naskh (Pembatalan) dalam hukum-hukum Allah, karena Allah menetapkan hukum menurut kehendakNya dan melakukan apa saja yang dikehendakiNya.” [14]

c. Al-Maragi
Al-Maragi dalam kitab tafsirnya melihat adanya hikmah keberadaan naskh dengan menyatakan : ” Sesungguhnya hukum – hukum itu tidak diundangkan kecuali untuk kepentingan manusia. Hal ini dapat berbeda karena berbeda waktu dan tempat . Jika suatu hukum diundangkan karena dirasakan perlu adanya hukum itu, kemudian keperluan itu berakhir, maka adalah suatu tindakan bijaksana menghapuskan hukum itu dan menggantikannya dengan hukum yang lebih sesuai dengan waktu itu . Dengan demkian hukum lebih menjadi lebih baik dari yang semula atau sama dari segi manfaat untuk hamba-hamba Allah.” [15]

d. Muhammad Rasyid Rida
Muhammad Rasyid Rida dalam tafsirnya menjelaskan: ” Sesungguhnya hukum itu dapat berbeda karena perbedaan waktu, tempat dan lingkungan, serta situasi . Apabila suatu hukum diundangkan pada suatu waktu karena kebutuhan pada hukum itu, kamudian hukum itu tidak dibutuhkan lagi pada waktu lain , maka adalah suatu tindakan bijaksana membatalkan hukum itu dan menggantikannya dengan hukum yang lebih sesuai dengan waktu itu.” [16]

e. Sayid Qutub
Sayid Qutub berpendapat bahwa ayat itu merupakan sanggahan terhadap pendirian orang –orang Yahudi yang mempertahankan ajaran agama mereka dan menolak ajaran Islam dengan alasan bahwa Allahg SWT tidak mungkin menghapuskan hukum –hukum-Nya dalam Taurat. Selain itu mereka menuduh bahwa Nabi Muhammad SAW tidak konsisten, baik mengenai perpindahan kiblat dari Masjidilaqsa ke Masjidilharam , maupun perubahan – perubahan petunjuk, hukum, dan perintah yang akan terjadi sebagai akibat dari pertumbuhan masyarakat Islam menuriut situasi dan kondisi mereka yang berkembang. yang baru. [17]

f. Manna Khalil al-Qattan
Manna Khalil al-Qattan berpendapat bahwa apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi pada masa yang lain. Perjalanan dakwah pada taraf pertumbuhan dan pembentukan tidak sama dengan perjalanan sesudah memasuki era perkembangan dan pembangunan. Demikian juga hikmah tasyri` pada suatu periode akan berbeda dengan hikmah tasyri` pada periode yang lain . Oleh karena itu wajarlah jika Allah menghapuskan suatu tasyri` dengan tasyri` yang lain untuk menjaga kepentingan para hambaNya [18]

Menurut pendukung adanya naskh, naskh baru dilakukan jika : [20]
1) Terdapat dua ayat hukum yang saling berlawanan dan tidak dapat dikompromokan
2) harus diakui meyakinkan urutan turunnya ayat ayat tersebut, yang lebih dahulu turun ditetapkan sebagai mansukh dan yang kemudian sebagai nasikh
3) hukum yang mansukh tidak bersifat abadi, tetapi bersifat sementara. Karena itu hanya ayat-ayat tertentu yang bisa di-naskh .

Ayat ayat yang tidak bisa di-naskh adalah :
1) ayat ayat yang mengandung hukum pokok yang tidak bisa berubah dengan sebab berubahnya situasi dan kondisi manusia, seperti ayat yang berkaitan dengan akidah, ibadah, keadilan, dan amanah
2) Ayat –ayat yang secra tekstual menunjukkan ketentuan hukumnya berlaku sepanjang masa (abadi)
3) Ayat-ayat yang berisi berita yang tidak mengandung perintah dan larangan seperti kabar tentang umat –umat terdahulu. [21]

2. Ulama yang menolak nasikh dan mansukh
Ulama yang menolak adanya nasikh dan mansukh dalam al-Qur`an antara lain :
a. Abu Muslim al-Asfahani (tokoh mu`tazilah)
b. Imam ar-Razi
c. Muhammad Abduh
d. Dr.Taufiq Sidqi
e. Muhammad Khudari Bek
f. Muhammad Abduh [22]

Alasan penolakan mereka didasarkan pada ayat-ayat al-Qur`an yang sama yang dikemukakan oleh kelompok pendukung naskh, dengan perbedaan penafsiran.[23] Alasan alasan mereka adalah sebagai berikut :

1) Kandungan surat al-Baqarah ayat 106 yang oleh kelompok pendukung naskh dijadikan sebagai argumentasi adanya naskh dalam al-Qur`an, menurut mereka ditujukan kepada kaum Yahudi yang mengingkari al-Qur`an atau merujuk pada wahyu yang diturunkan sebelum al-Qur`an yang akhirnya digantikan oleh al-Qur`an . Artinya hukum-hukum yang terdapat dalam kitab kitab suci sebelum al-Qur`an diganti dengan yang lebih baik , ayitu al-Qur`an. Kandungan surat an-Nahl ayat : 101 dilihat dari segi turunnya ditujukan kepada orang orang kafir yang tidak mempercayai kerasulan Muhammad SAW karena hukum hukum yang ada di dalam al-Qur`an berlainan dengan hukum hukum dalam Taurat dan Injil. Menurut mereka kalau al-Qur`an benar benar datang dari Allah SWT, maka pasti tidak akan berbeda dari isi kitab kitab sebelumnya. Untuk itulah Allah SWT menjawab bahwa Dia lebih tahu apa yang maslahat buat hamba-hambaNya untuk setiap zaman.

2) Jika dalam al-Qur`an ada ayat yang dimansukh, berarti didalam al-Qur`an terdapat kesalahan dan saling berlawanan , padahal al-Qur`an sendiri telah menegaskan :
Artinya ” Yang tidak datang kepadanya (al-Qur`an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji .” (QS. Fush-shilat / 41: 42)

3) Rasulullah sendiri tidak pernah mengatakan adanya naskh dalam al-Qur`an . Seandainya ada, sudah tentu ia akan menjelaskannya.

4) Hadits – hadits yang dikatakan oleh pendukung naskh dinilai sebagai pe-nasikh ayat al-qur`an, seperti hadits ” Tidak ada wasiat bagi penerima waris ” (HR.Bukhari , Abu Daud , Attarmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Darul-Qutni, dan Ahmad Bin Hanbal) bukanlah hadits mutawatir melainkan hadits ahad yang tidak sederajat dengan al-Qur`an , dan hadits ahad tidak punya kualifikasi untuk menjadi hujjah dalam menetapkan hukum sesuatu.

5) Dikalangan pendukung naskh sendiri tidak ada kesepakatan dalam menentukan jumlah ayat ayat yang mansukh. Misalnya , menurut an-Nuhas terdapat 100 ayat lebih yang mansukh, asy-Syuyuti 20 ayat, sedangkan asy-Syaukani berhasil mengkompromikan 8 ayat dari 20 ayat yang oleh asy-Syuyuti tidak dikompromikan [24]. Ini tidak berarti ada sebagian ayat yang oleh sebagian ulama dipandang bertentangan dan tidak bisa dikompromikan, ternyata dapat dikompromikan oleh ulama lain. Karena itu kelompok penolak adanya naskh membuktikan kemampuan mereka dalam mengkompromikan ayat ayat yang oleh pendukung naskh dinilai kontradiktif. Bahkan sebagian usaha mereka itu telah diterima secara baik oleh pendukung naskh .

Karena kontroversi itu maka jalan terbaik adalah mengkompromikan kedua kelompok ulama tersebut yaitu dengan jalan meninjau kembali pengertian istilah naskh yang di kemukakan oleh ulama muta`akhirin sebagaimana mereka meninjau pengertian dari ulama mutakaddimin.

Untuk usaha ini pemikiran Muhammad Abduh dalam menafsirkan ayat ayat al-Qur`an dapat dijadikan sebagai titik tolak. Ia menolak adanya naskh dalam pengertian ” Pembatalan”, tetapi ia dapat menerima dalam arti at-Tabdil ( pengertian / pengalihan / pemindahan ayat hukum di tempat ayat hukum yang lain ). Dengan demikian pengertian istilah naskh adalah pengertian atau pemindahan dari satu wadah ke wadah lain , dalam arti semua ayat al-Qur`an tetap berlaku, tidak ada yang kontradiktif dan yang dibatalkan . Hanya saja terjadi pengertian hukum bagi masyarakat /orang tertentu karena adanya kondisi yang berbeda. Namun demikian, ayat hukum yang tidak berlaku bagi masyarakat dalam satu kondisi dapat berlaku bagi masyarakat lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula. Pemahaman demikian akan sangat membantu dalam pengembangan hukum islam. Sehingga ayat ayat hukum bertahap tetap dapat diberlakukan oleh mereka yang kondisinya sama atau serupa dengan kondisi umat Islam pada awal masa perkembangan Islam.[25]


E. Manfaat mengetahui naskh
Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh sangat besar manfaatnya bagi bagi para ahli ilmu, terutama fuqaha, mufassir dan ahli ushul, agar pengetahuan tentang hukum tidak kacau dan kabur. Oleh sebab itu terdapat banyak asar (perkataan sahabat atau tabiin) yang mendorong agar mengetahui masalah ini. Mereka harus mengetahui keterangan keterangan yang tegas yang pernah disampaikan oleh Rasulullah dan para sahabanya, harus mengetahui ayat yang posisinya sebagai nasikh dan mansukh, dan juga harus mengetahui ayat mana yang turun lebih dahulu dan datang kemudian [26]


Wallahu `alam bish-shawab
[1] PT Ichtiar Baru van Hoeve, (ed), Nasikh dan Mansukht, Ensiklopedi Islam (Jakarta :2002 ) , cet ke x , jilid 4 hal 16

[2] Abdul Wahab Khalaf . Prof. Dr, Kaidah Kaidah Hukum Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994) cet ke 5 hal 368

[3] Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Syari'at, (Beirut : Dar Al-Ma'arif, 1975) jilid III, h. 108. dan lihat Quraish Sihab , Membumi, Nasikh, http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/Nasikh.html

[4] Abdul 'Azim Al-Zarqani, Manahil A-'Irfan fi 'Ulum Al-Qur'an, (Mesir , Al-Halabiy, 1980) , Jilid II, h. 254. dan lihat PT Ichtiar Baru van Hoeve, (ed), lok.cit

[5] PT Ichtiar Baru van Hoeve, (ed), Lok. Cit

[6] Manna Khalil al-Qattan , Studi Ilmu-Ilmu Qur`an , ter , (Jakarta: Litera Antar Nusa ,1994), cet ke 2, hal 334

[7] Ibid
[8] Ibid, hal 335

[9] PT Ichtiar Baru van Hoeve, (ed), Nasikh dan Mansukht, Ensiklopedi Islam (Jakarta :2002 ) , cet ke x , jilid 4 hal 18

[10] Manna Khalil al-Qattan , Studi Ilmu-Ilmu Qur`an , ter , (Jakarta: Litera Antar Nusa ,1994), cet ke 2, hal 336

[11] Ibid. hal 337 dan lihat http://qosim.multiply.com/journal/item/79/Nasikh_dan_Mansuk


[12] PT Ichtiar Baru van Hoeve, (ed), Nasikh dan Mansukht, Ensiklopedi Islam (Jakarta :2002 ) , cet ke x , jilid 4 hal 16

[13] PT Ichtiar Baru van Hoeve, (ed), Nasikh dan Mansukht, Ensiklopedi Islam (Jakarta :2002 ) , cet ke x , jilid 4 hal 16

[14] Ismail Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim, ( Singapura: Sulaiman Mar'iy) , t.t.h., jilid I, h. 151 dan lihat PT Ichtiar Baru van Hoeve, (ed), op cit hal 17

[15] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghiy, ( Mesir: Al-Halabiy, 1946) , jilid I, h. 187 dan lihat PT Ichtiar Baru van Hoeve, (ed), op cit hal 17

[16] PT Ichtiar Baru van Hoeve, (ed), op cit hal 17

[17] PT Ichtiar Baru van Hoeve, (ed), Nasikh dan Mansukht, Ensiklopedi Islam (Jakarta :2002 ) , cet ke x , jilid 4 hal 17

[18] Manna Khalil al-Qattan , Studi Ilmu-Ilmu Qur`an , ter , (Jakarta: Litera Antar Nusa ,1994), cet ke 2, hal 326

[19] PT Ichtiar Baru van Hoeve, (ed), lok cit

[20] PT Ichtiar Baru van Hoeve, (ed), op cit .hal 18

[21] PT Ichtiar Baru van Hoeve, (ed), Nasikh dan Mansukht, Ensiklopedi Islam (Jakarta :2002 ) , cet ke x , jilid 4 hal 18

[22] Hasbi Ash-Shiddiqy. Prof. Dr, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur`an / Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang , 1990 ) cet ke 13 hal 108

[23] PT Ichtiar Baru van Hoeve, (ed), lok cit

[24] Hasbi Ash-Shiddiqy. Prof. Dr, op cit hal 109

[25] PT Ichtiar Baru van Hoeve, (ed), op cit hal 19

[26] Manna Khalil al-Qattan , Studi Ilmu-Ilmu Qur`an , ter , (Jakarta: Litera Antar Nusa ,1994), cet ke 2, hal 330

Tidak ada komentar: